Sebagian kalangan melarang menunaikan hajat sambil menghadap matahari dan rembulan. Hal ini dihukumi makruh, sehingga semestinya dihindari.
Sebagaimana hal ini disebutkan pula dalam matan Al Ghoyah wat Taqrib karya Al Qodhi Abu Syuja’, “Tidak boleh menghadap matahari dan rembulan, begitu pula tidak boleh membelakanginya.”
Namun yang tepat adalah menghadap atau membelakangi matahari dan bulan ketika buang hajat tidaklah terlarang.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kebanyakan ulama Syafi’iyah menganjurkan tidak menghadap matahari dan rembulan (saat buang hajat), namun sandaran mereka adalah hadits dho’if. Larangan tersebut menyelisihi larangan menghadap kiblat (saat buang hajat) pada empat keadaan. Salah satunya, larangan menghadap kiblat saat buang hajat shahih dan masyhur. Sedangkan larangan menghadap dan membelakangi matahari atau rembulan adalah hadits dho’if, bahkan hadits batil. …. Inilah pendapat yang jadi pilihan karena anjuran tersebut butuh dalil, sedangkan tidak ada dalil yang mendukungnya.” Lihat Al Majmu’ karya Imam Nawawi, 2: 111.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun pendalilannya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang buang hajat dengan menghadap dan membelakangi matahari dan rembulan, lalu berdalil dengan hadits, maka itu sebenarnya keliru. Karena tidak ada nukilan sama sekali dengan satu kalimat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dengan sanad shahih, dho’if, mursal, atau sanad yang muttashil (bersambung). Dan tidak ada dalil sama sekali yang menunjukkan larangan dalam masalah ini. Ada sebagian fuqoha beralasan bahwa nama Allah itu tertera di matahari dan rembulan. Ada pula yang mengatakan bahwa cahaya matahari dan rembulan adalah cahaya Allah. Ada juga yang memberikan argumen bahwa tidak menghadap atau membelakangi matahari dan rembulan lebih membuat aurat tertutup.” Demikian secara ringkas yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Miftahu Daaris Sa’adah, 2: 205.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menuturkan bahwa anggapan cahaya matahari dan rembulan adalah cahaya Allah tidaklah benar karena cahaya tersebut bukanlah sifat untuk Allah, namun hanyalah cahaya makhluk. Lihat Syarhul Mumthi’, 1: 123.
Dalam hadits hanyalah disebutkan,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلاَ يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ ، شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Jika kalian hendak buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat, jangan pula membelakanginya akan tetapi hadaplah timur dan barat.” (HR. Bukhari no. 144 dan Muslim no. 264). Keadaan menghadap kiblat dan membelakangi di saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hadits ini adalah menghadap utara dan selatan. Berarti selain arah tersebut adalah timur dan barat. Padahal menghadap timur dan barat, itu berarti menghadap atau membelakangi arah matahari. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengatakan, “Kecuali jika kalian menghadap matahari atau rembulan, maka jangan lakukan.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan semisal itu. Lihat Syarhul Mumthi’, 1: 123.
Kesimpulannya, sebagaiman kata Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ (1: 123), yang tepat adalah tidak dihukumi makruh karena tidak ada dalil shahih yang memakruhkannya bahkan ada dalil shahih yang menyatakan bolehnya.
Wallahu waliyyut taufiq.
—
Menjelang shalat Zhuhur @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 9 Jumadal Ula 1434 H